Konstitusi Membatalkan Pasal Warisan yang Dianggap Tidak Adil
Pada 25 April KST, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dengan suara bulat membatalkan Pasal 112 Ayat 4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dianggap tidak konstitusional.
Sebelumnya, pasal tersebut menyatakan bahwa anggota keluarga berhak atas sebagian warisan orang yang meninggal, terlepas dari hubungan mereka. Bahkan jika ada wasiat, anak-anak dan pasangan dijamin setengah dari bagian warisan menurut undang-undang, sementara orang tua dan saudara kandung dijamin sepertiga bagian.
Kasus Goo Hara Memicu Kontroversi
Ketentuan ini menuai kritik luas setelah kematian penyanyi dan aktris Goo Hara pada November 2019. Ibu kandungnya, yang telah terpisah selama lebih dari 20 tahun, dikabarkan muncul di pemakamannya dan mengklaim bagiannya dari harta warisan mendiang putrinya.
Kakak Goo Hara, Goo Ho In, mengajukan gugatan terhadap ibu mereka, mengklaim bahwa ia tidak berhak atas warisan adiknya karena telah meninggalkan anak-anaknya saat mereka masih sangat muda.
Lahirnya Undang-Undang Goo Hara
Gugatan Goo Ho In menantang undang-undang warisan saat ini, yang menetapkan bahwa orang tua adalah satu-satunya ahli waris orang yang meninggal jika mereka tidak memiliki anak atau pasangan. Artinya, ibu Goo Hara berhak atas setengah dari hartanya, sementara setengah lainnya menjadi milik ayahnya.
Meski sang kakak berupaya, ibu Goo Hara memenangkan gugatan dan memperoleh 40% dari harta warisan. Namun, kasus ini memicu perdebatan besar di masyarakat.
Dalam waktu hanya 17 hari, lebih dari 100.000 orang menandatangani petisi yang diprakarsai oleh Goo Ho In, meminta perubahan dalam undang-undang warisan.
Dengan kemarahan yang meningkat, Majelis Nasional mengusulkan “Undang-Undang Goo Hara” pada tahun 2021, yang menyatakan bahwa orang tua yang mengabaikan kewajiban mereka terhadap anak-anak tidak berhak menjadi ahli waris mereka.
Kembali Berlaku Secara Parsial
Namun, Undang-Undang Goo Hara kedaluwarsa selama sesi Majelis Nasional ke-20 dan kemudian dibuang, sementara itu tetap tertunda di Majelis Nasional ke-21. Sistem diskualifikasi warisan Kementerian Kehakiman juga gagal melewati ambang batas Majelis Nasional.
Meski demikian, kritik terhadap undang-undang warisan terus berlanjut, yang mengarah pada keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa beberapa peraturannya tidak konstitusional. Mahkamah menghapus sebagian sistem saat ini, termasuk hak saudara kandung untuk mengklaim warisan kecuali mereka dijanjikan hadiah terlebih dahulu. Selain itu, warisan akan ditentukan berdasarkan tingkat kontribusi.
Undang-undang ini harus disahkan oleh Majelis Nasional paling lambat 31 Desember 2025 agar dapat berlaku. Meskipun perubahan ini disambut baik, banyak ahli hukum menyatakan bahwa mereka akan terus mendorong penerapan undang-undang yang lebih akurat.